Selasa, 27 April 2021

{Cerpen} Pemburu Takjil

 


Aku melihat bocah polos itu. Menjelang azan magrib, ia berada di tempat yang tidak biasa. Bukan di taman kota yang menjadi tempat warga menunggu waktu berbuka puasa, melainkan jongkok sendirian di pondasi yang nampaknya akan di bangun rumah. Ia tidak gila. Ataupun seorang anak yang biasanya menjadikan pondasi itu tempat bermain gundu. Wajar saja aku mengiranya seperti itu. Dilihat dari cara berpakaiannya saja cukup rapi.

Sepintas aku memandangnya dan pertama kali berjumpa dengannya. Nampaknya enam tahunan usianya. Tapi, sedang apa ia jongkok di situ? Apa tidak ada pekerjaan lain yang lebih bermanfaat? Aku tak tahu.

“Kamu ngapain jongkok di sini?”

“Nunggu adzan maghrib, Mas.”

“Kamu puasa ta?”

“Iya.”

Bocah hebat! Percaya tidak percaya, bocah itu berpuasa. Dilihat dari wajahnya yang lemas dan bibir keringnya, tak diragukan lagi kalau ia menjalankan rukun Islam yang ke-4. Mungkin ia puasa setengah hari, tapi tak apalah yang namanya anak kecil mulai berpuasa itu sudah baik. Aku saja mulai belajar puasa saat usia sepuluh tahun. Benar-benar malu dengannya.

Aku mengajaknya ke masjid yang kebetulan di samping persis pondasi itu. Ia menolak begitu saja. Malu dengan jamaah masjid. Itu yang ia katakan kepadaku. Ah, alasan yang belum bisa diterima. Aku masih bisa memaklumi kepolosannya.

Allahu akbar, Allahu akbar.

Azan magrib telah berkumandang. Kuteguk segelas air mineral yang ada di teras masjid, melepas dahaga puasa seharian ini. Baru sekali tegukan, aku lihat bocah itu sudah tidak ada di pondasi. Mungkin ia pulang. Biasalah, anak kecil kalau waktunya magrib harus ada di rumah. Takutnya diculik makhluk halus; mitos setempat.

Tiang penyangga masjid tak seperti biasanya. Segelas plastik kolak dan tiga potong martabak bersandar di tiang tersebut. Pikirku takjil muadzin masjid yang akan dinikmati setelah mengumandangkan azan. Jadi aku biarkan begitu saja. Itu bukan hakku yang harus aku ambil.

Salat magrib telah usai. Saatku makan bersama dengan jamaah masjid. Iseng melihat takjil di tiang penyangga tadi, tetap masih ada. Sebenarnya, siapa gerangan yang menaruh takjil itu? Kok tidak segera dimakan? Penasaran. Kata ustaz, kalau makanan disia-siakan akan mubazir.

“Pak Haji, itu takjil siapa? Apakah punya muadzin masjid?” Aku bertanya kepada Pak Haji. Kebetulan beliau ada di masjid sekarang. Tak seperti biasanya yang mengisi tausiyah di masjid-masjid lain menjelang waktu berbuka puasa.

“Oh, takjil yang di tiang penyangga itu?”

“Iya, Pak Haji. Kok tidak dimakan ya? Padahal sudah buka puasa.”

“Itu bukan punya muadzin. Tapi punya Mbah Semo.”

Mbah Semo? Sepertinya nama itu sudah tak asing lagi bagiku. Benar, aku pernah mendengar namanya. Ibuku pernah bercerita tentang Mbah Semo yang menghidupi seorang anak kecil. Kedua orang tua anak itu telah bercerai, lalu meninggalkan mereka berdua. Mbah Semo dan cucunya tinggal di desa sebelah yang kebetulan tidak jauh dari masjid.

“Sekarang beliau di mana, Pak Haji?”

“Bentar lagi juga datang.”

Lima menit kemudian, lelaki tua datang di masjid. Apa itu Mbah Semo? Aku belum bisa memastikan. Mengingat aku belum pernah bertemu dengannya. Sekali pun belum pernah. Ia tidak sendiri. Beserta seorang bocah yang menggandeng tangannya. Apa?! Bocah yang digandengnya ternyata bocah yang beberapa menit lalu aku temui di pondasi. Aku tidak menyangka dengan semua hal ini.

Rasa penasaranku semakin menghantui tak terkendali. Aku memberanikan diriku untuk menghampiri mereka berdua. Sedikit malu dan rasa sungkan masih ada kepada mereka. Tak apalah, demi ingin mengetahui sesuatu aku harus berani. Almarhum ayahku pernah berpesan kepadaku sebulan sebelum beliau meninggal; jangan pernah takut kepada siapapun jika tidak memiliki salah.

“Permisi, Mbah. Mbah sedang apa?”

“Maaf, Mas. Mbah saya tuli dan tidak bisa ngomong. Kami berdua mau mengambil takjil yang telah kusiapkan tadi.”

“Oh, takjil ini kamu yang ambil toh?”

“Iya, Mas. Saya mengambilnya untuk Mbahku, Mbah Semo.”

Dugaanku benar. Lelaki tua yang bersama bocah di pondasi tadi ternyata Mbah Semo. Aku tak bisa berkata-kata lagi dengan dua orang yang bisa dibilang sangat memotivasiku. Mbah Semo yang berikhtiar menghidupi cucunya dan cucunya yang seorang bocah menyempatkan mengambil takjil untuk kakeknya.

Air mataku hampir menetes. Terharu. Bocah itu menyempatkan bercerita tentang keluarganya. Ceritanya hampir mirip yang diceritakan oleh ibuku beberapa waktu lalu. Aku pikir ini hanya omongan simpang siur yang belum ada kebenarannya. Namun aku salah. Ini benar ada di kehidupanku.

Kini aku tahu cerita itu. Setiap menjelang berbuka puasa, bocah yang aku temui tadi selalu menunggu azan magrib dengan jongkok di pondasi. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Tanpa malu oleh orang-orang yang melintas di depannya. Termasuk aku. Tidak hanya menunggu azan saja, bocah itu juga menunggu takjil yang dibagikan gratis oleh panitia masjid. Selalu ia lakukan tanpa henti.

Aku kembali terharu. Di bulan yang suci ini, Mbah Semo tidak bisa mencari nafkah lagi. Bukan karena usianya yang semakin lanjut atau kelebihan yang ia miliki, tapi tidak ada yang bisa ia jual lagi. Di luar puasa, Mbah Semo berjualan es potong di sekolahan. Bulan ini ia tidak bisa menafkahi cucunya.

 Bukankah bulan ini adalah bulan yang penuh rahmat? Tentu benar. Tidak bagi Mbah Semo. Rahmat tersebut hanya dari Allah ta’ala, bukan rahmat yang bisa membuatnya makan setiap hari. Mbah Semo bersyukur. Masih ada cucunya yang memberinya takjil untuk berbuka. Terkadang ia merasa minder, karena bisa dibilang peminta-minta takjil. Tapi, harus bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa ia lakukan. Ada juga yang menyebut cucunya sebagai pemburu takjil. Tiap hari selalu di masjid demi mendapatkan takjil gratis. Namun itu tak membuat Mbah Semo dan cucunya putus asa menjalani puasa. [ ]

Ramadhan, 1440 H


Tentang Penulis:

RYAN P. PUTRA. Penulis kelahiran Surabaya, 29 November 1997. Mulai menulis sejak duduk di bangku kelas 9 SMP. Ia menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan online. Ryan termasuk anak muda yang gigih mengikuti lomba, hingga meraih beberapa prestasi, di antaranya;  Juara 3 Lomba Karya Tulis Islami yang diselenggarakan oleh OSIS SMA Negeri 2 Surabaya Tingkat Jawa Timur pada tahun 2015, Juara 3 Lomba Esai Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2016, dan Juara Terfavorit Lomba Taujih Visual/Typografi yang diselenggakaran oleh JMMI ITS diikuti oleh seluruh mahasiswa ITS angkatan 2016 pada tahun 2017, dll. Prestasi terakhirnya yakni Juara 2 Essay Competition pada Al-Qur’an Poem & Essay Competition (APEC) Chemistry Islamic Studies (CIS) di Departemen Kimia ITS tahun 2018. Selain itu, pada Maret 2016, ia merampungkan buku tunggalnya berjudul “Kelinci Percobaan K-13” yang diterbitkan oleh FAM Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar