Tongkat Kayu
Kakek
Ryan P. Putra
(Dimuat di Flores Sastra Edisi 8 Desember 2016)
Tujuh
tahun Setya hidup bersama kakeknya di sebuah gubuk yang jauh dari kata
sederhana. Kedua orang tuanya telah berpisah, membuat gadis berusia sebelas
tahun menghabiskan waktu bersama kakeknya. Mengingat usia kakeknya yang sangat
senja, ia tak bersekolah lagi. Setya tak bisa meninggalkan kakeknya dan
kakeknya juga tak bisa ditinggal oleh Setya dalam waktu yang lama.
Ditemani panasnya terik matahari,
Setya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke tetangga di sekitar gubuknya.
Awalnya, kakek tak merestui Setya untuk mencari kayu bakar di hutan, karena
terlalu berbahaya untuk cucunya. Tapi, Setya harus mencari kayu bakar demi mencukupi
kebutuhan hidup mereka tiap hari. Mengingat kakeknya sudah tak kuat untuk
melangkahkan kaki ke hutan.
Bermodal sebilah parang dari
kakeknya, Setya menitik asa setitik demi setitik. Restu dari kakeknya, membuat
Setya bersemangat untuk mencari kayu bakar di hutan. Rintihan keringat
membasahi dahinya, di setiap ia membilah-bilah batang pohon menjadi kayu bakar
yang siap dijual. Kayu-kayu yang telah ia belah menjadi ukuran yang lebih
kecil, diikatnya dengan batang rotan yang ia temukan di hutan itu. Ikatan kayu
bakar sudah banyak. Ia bawa pulang dengan cara menggendongnya. Layaknya seorang
bayi yang ditimang oleh ibunya.
“Kakek, Setya pulang.”
“Silahkan masuk, Cu!”
“Kakek sedang apa sekarang?“
“Enggak, Cu. Kakek hanya membilah-bilah
batang bambu ini.”
“Buat apa toh, Kek? Sudah, Kakek
nggak perlu bilah-bilah batang bambu ini. Setya sudah membawa banyak kayu bakar
untuk dijual besok.”
Ungkapan Setya membuat kakek
berhenti membilah bambu dan hanya senyum sebagai balasannya serta membuat kakek
menjadi sedih. Tak tahu penyebabnya yang membuatnya bersedih. Untung saja,
sosok yang setia bersama Setya ini hanya bersedih di dalam hati. Sehingga Setya
tak tahu perasaan kakek sekarang seperti apa. Ia melihat kakek tersenyum-senyum
saja, tetapi di dalam hati kakek sebenarnya bersedih.
Merdunya suara burung hantu yang
terdengar jelas di gubuk mereka, pertanda hari mulai malam. Malam itu, kakek menyempatkan
diri untuk menyerut sebatang bambu yang siang tadi telah ia bilah-bilah. Tak
tahu apa maksud kakek ini. Bisa jadi meringankan beban cucunya yang setiap hari
mencari kayu bakar di hutan. Tak hanya mencari kayu bakar saja, tetapi masih
memotong-motong lagi batang yang berukuran besar menjadi kayu bakar yang lebih
kecil lagi. Dan tak hanya itu saja, Setya harus membawa kayu-kayu tersebut
dengan jumlah yang tak sedikit ke rumahnya serta jaraknya yang cukup jauh.
Gesekan antara batang bambu dengan
sebilah pisau kecil kakek, menciptakan suara yang tak asing bagi Setya. Mengingat
usia kakek yang semakin lanjut, tak memungkinkan mengasah pisau tersebut
kembali. Kakek hanya bisa bersabar untuk menyerut bambu tersebut, karena
pisaunya sudah tak tajam lagi. Meskipun suara tersebut terdengar cukup halus,
membuat Setya ingin menemui pusat suara itu.
“Kakek! Kakek ngapain malam-malam menyerut
bambu itu? Tadi siang sudah dibilah-bilah, sekarang diseruti. Buat apa sih, Kek?”
“Enggak, Cu! Kakek tak bisa tidur
sekarang. Jadi, Kakek duduk-duduk saja.” “Aduh
Kakek, masih sempatnya bilang duduk-duduk. Sudah jelas Kakek masih bersama
bambu itu sejak siang tadi. Sudahlah Kek, mari kita tidur!”
Kakek pun berjalan menuju tempat
tidurnya. Bambu yang ia serut tadi, ia tinggal begitu saja. Sebenarnya ia tak
sanggup meninggalkan bambu tersebut, tetapi ia tak ingin membuat cucunya
kecewa. Saran dari cucunya sangat bagus. Ia harus memenuhi saran tersebut.
Mungkin Setya belum tahu apa maksud kakek dengan bambu tersebut.
Sang mentari kembali menyapa mereka.
Di pagi yang cerah ini, Setya menjual kayu-kayu bakarnya yang kemarin ia cari
di hutan kepada tetangga di sekitar gubuknya. Berkeliling kesana-kemari, menuju
pintu ke pintu rumah tetangganya, demi sebutir uang untuk membeli segenggam beras
dan seiris lauk.
Upah
sebesar 5000 perak, ia dapat sepanjang pagi ini. Hasil ini memang tak sebanding
dengan jerih payahnya. Setya harus berjalan menyusuri hutan demi mendapatkan
kayu-kayu di siang hari yang panas, membawa kayu-kayu tersebut dengan cara
menggendongnya, sangat tak pantas dengan upah sekecil ini. Ia ingin mendapat
uang lebih dari jerih payahnya selama ini, tetapi sangat sulit sekali baginya
menjual kayu bakar tersebut dengan harga yang cukup mahal. Mengingat tetangga
di sekitar gubuknya telah memakai kompor gas, sehingga tak banyak yang membeli
kayu bakar Setya untuk dijadikan bahan bakar memasak. Betapa sengsara nasibnya.
Tapi, semua ini tak membuatnya untuk berputus asa dan menyerah begitu saja.
Saat Setya menjajakan kayu bakarnya,
kakek masih tetap menyerut bambu yang semenjak kemarin ia potong, bilah-bilah,
hingga ia serut. Apa yang dilakukan oleh kakek terhadap bambu tersebut? Apa
mungkin kakek membantu Setya untuk mencukupi kebutuhan hidup dengan bambu
tersebut? Ini masih menjadi misteri tersendiri bagi Setya.
Hanya dengan waktu empat jam
menjajakan kayu bakar, Setya kembali ke gubuk untuk beristirahat. Siang ini,
Setya bersyukur sekali. Karena dagangannya ludes terjual. “Lihat, Kek! Kayu bakar Setya sudah ludes
terjual. Uangnya Setya belikan beras sama tempe untuk kita masak sekarang.”
“Alhamdulillah, Cu. Sisanya, jangan
lupa untuk ditabung ya!”
“Pasti dong, Kek! Ngomong-ngomong, Kakek
ngapain dengan bambu itu sih, Kek? Sejak kemarin, Kakek masih dengan bambu itu.”
“Enggak apa-apa, Cu!”
“Sudah, Kek. Jangan sama bambu itu!
Sekarang kita masak beras dan tempe ini. Untuk makan kita sekarang.”
“Baik, Cu. Tapi, bantu Kakek
berdiri. Kakek sudah tak kuat lagi untuk menopang badan Kakek.”
“Baik, Kek. Setya akan membantu
Kakek berjalan.”
***
Seminggu
kemudian,
Setya menuju ke hutan di mana ia
mencari kayu bakar. Kali ini, ia tak mencari kayu bakar lagi. Melainkan mencari
sepotong kayu sebagai alat bantu berjalan kakeknya. Ia berjalan kesana-kemari,
menelusuri hutan untuk mendapat sepotong kayu sebagai tongkat berjalan
kakeknya. Hingga pada akhirnya, Setya mendapat kayu yang ia harapkan. Tapi,
kayu tersebut masih terlalu besar. Sehingga ia harus memotongnya lebih kecil
lagi dan menyerutnya agar terasa halus di tangan kakeknya nanti.
Mengetahui Setya mencari tongkat
kayu di hutan, kakek tak ingin merepotkan cucunya. Kakek mengambil tongkat
bambu yang sejak kemarin ia serut di bawah lemarinya. Kakek harus merangkak dan
menengkurapkan tubuhnya demi meraih tongkat bambu itu. Ia sudah tak bisa
berjalan lagi, berdiri pun tak kuat.
Di hutan, Setya telah selesai
membuat tongkat kayu untuk kakeknya. Setya langsung berlari menuju ke gubuknya
untuk memberikan tongkat kayu tersebut kepada kakeknya. Sesampainya di gubuk, ia
tak mendengar suara sedikit pun dari dalam gubuknya. Ia mengucapkan salam
berkali-kali, namun tak ada yang menjawab. Akhirnya, ia memanggil-manggil
kakeknya, namun kakeknya tak menjawab. Mengetahui hal ini, ia beristirahat sejenak
di depan gubuknya dan ia berpikiran bahwa mungkin kakeknya masih di kamar mandi
belakang gubuknya.
Hampir tiga puluh menit Setya
beristirahat. Ia pun masuk ke dalam gubuknya untuk memberikan tongkat kayu yang
ia dapat untuk kakeknya. Ia memanggil-manggil kakeknya kembali, namun ia tak
mendengar respon dari kakeknya. Ia pun mencari kakeknya di kamar mandi belakang
gubuknya, namun kakek tak ada di tempat.
Hingga
suatu ketika, Setya menuju ke kamarnya. Di kamarnya tersebut, ia melihat
kakeknya tergeletak lemas di lantai kamarnya. Setya langsung berlari menuju
kakek untuk membangunkan kakeknya yang mungkin saja saat itu tertidur di
lantai. Namun, kakek tak terbangun. Ia semakin gelisah melihat kakeknya yang tak
terbangun. Saat itu, Setya hanya bisa meronta-ronta dan menangis.
“Kakek! Bangun, Kek! Jangan tinggalkan
Setya sendirian! Setya sudah tak punya apa-apa lagi kecuali Kakek. Bangun, Kek…..!!!”
Saat Setya berusaha membangunkan
kakeknya, ia melihat di samping kakeknya terdapat sebuah tongkat dari bambu. Ia
tak tahu dari mana tongkat bambu berasal. Karena saat itu Setya hanya bisa
menangis dan menangis di samping kakeknya.
***
Sebulan
kemudian,
Setya telah ikhlas ditinggal oleh
kakek. Ketika Setya membersihkan tempat tidur kakeknya, ia menemukan selembar kertas
di bawah kasur kakeknya. Nampaknya, selembar kertas itu adalah surat untuk
Setya yang ditulis oleh kakeknya sebelum meninggal.
Setya
cucu kakek yang sangat baik. Kakek sangat menghargai usaha Setya untuk
mencukupi kebutuhan hidup kita. Setya memang cucu kakek yang paling hebat. Setya
memang cucu kakek yang paling kuat. Setya, maafkan kakek yang selama ini
melukai hatimu, merepotkanmu, bahkan membohongimu. Semenjak Setya mengetahui
kakek yang sedang sibuk dengan bambu tersebut, kakek hanya bisa bilang tak
apa-apa ke Setya. Karena kakek tak ingin menambah beban Setya.
Setya, saat ada hari untuk kita
berpisah, maka jangan pernah untuk bersedih. Dan jika suatu saat habis masa
kakek, maka jangan pernah untuk menangisinya.
Setya, yakinlah bahwa kakek tak akan
pergi jauh dari Setya. Hanya saja, raga kakek yang tak bersama Setya lagi. Tapi,
sukma dan ruh kakek akan selalu bersama Setya di mana pun Setya berada. Kakek
akan selalu ada di pikiran Setya hingga turun ke hati Setya. Kakek tak akan
pernah meninggalkan Setya, karena kakek sangat sayang dengan Setya.
Setya, tolong jaga dan rawatlah tongkat
bambu yang kakek buat. Tolong letakkan di dinding gubuk kita. Dan tolong
letakkan berdampingan dengan tongkat kayu Setya yang kakek belum tahu wujudnya.
Kakek minta tolong seperti ini, agar Setya selalu ingat kepada kakek. Satu lagi
Setya, tolong jangan taruh di dinding kamar Setya. Agar Setya tak selalu
menangisi kakek setiap Setya akan tidur.
Setya cucu kakek, hapuslah air mata yang
mengalir di pipi Setya sekarang. Karena kakek tak sanggup melihat cucu kakek
bersedih dan menangis. Kakek yakin bahwa Setya adalah anak yang hebat dan kuat.
Sehingga Setya tak pantas untuk seperti ini.
Setya. Bangkitlah, Cu!
Cucu kakek yang paling kakek cintai.
Membaca
pesan tersebut, membuat Setya lebih tegar untuk menjalani hidupnya. Walaupun
Setya hidup sebatang kara tanpa ada yang menemaninya dan ia belum sempat
memberikan tongkat kayu yang ia cari serta ia buat dengan tangan mungilnya di
hutan untuk kakek. [ ]
Surabaya, 6 Nopember 2016
Biodata:
RYAN
P. PUTRA. Penulis asal Surabaya. Menulis “Kelinci Percobaan K-13” (FAM Publishing, 2016).
Mahasiswa S1 Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember.