Kamis, 08 Desember 2016

{Cerpen} Tongkat Kayu Kakek



Tongkat Kayu Kakek
Ryan P. Putra
 (Dimuat di Flores Sastra Edisi 8 Desember 2016)
 
Tujuh tahun Setya hidup bersama kakeknya di sebuah gubuk yang jauh dari kata sederhana. Kedua orang tuanya telah berpisah, membuat gadis berusia sebelas tahun menghabiskan waktu bersama kakeknya. Mengingat usia kakeknya yang sangat senja, ia tak bersekolah lagi. Setya tak bisa meninggalkan kakeknya dan kakeknya juga tak bisa ditinggal oleh Setya dalam waktu yang lama.
            Ditemani panasnya terik matahari, Setya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke tetangga di sekitar gubuknya. Awalnya, kakek tak merestui Setya untuk mencari kayu bakar di hutan, karena terlalu berbahaya untuk cucunya. Tapi, Setya harus mencari kayu bakar demi mencukupi kebutuhan hidup mereka tiap hari. Mengingat kakeknya sudah tak kuat untuk melangkahkan kaki ke hutan.
            Bermodal sebilah parang dari kakeknya, Setya menitik asa setitik demi setitik. Restu dari kakeknya, membuat Setya bersemangat untuk mencari kayu bakar di hutan. Rintihan keringat membasahi dahinya, di setiap ia membilah-bilah batang pohon menjadi kayu bakar yang siap dijual. Kayu-kayu yang telah ia belah menjadi ukuran yang lebih kecil, diikatnya dengan batang rotan yang ia temukan di hutan itu. Ikatan kayu bakar sudah banyak. Ia bawa pulang dengan cara menggendongnya. Layaknya seorang bayi yang ditimang oleh ibunya.
            “Kakek, Setya pulang.”
            “Silahkan masuk, Cu!”
            “Kakek sedang apa sekarang?“
            “Enggak, Cu. Kakek hanya membilah-bilah batang bambu ini.”
            “Buat apa toh, Kek? Sudah, Kakek nggak perlu bilah-bilah batang bambu ini. Setya sudah membawa banyak kayu bakar untuk dijual besok.”
            Ungkapan Setya membuat kakek berhenti membilah bambu dan hanya senyum sebagai balasannya serta membuat kakek menjadi sedih. Tak tahu penyebabnya yang membuatnya bersedih. Untung saja, sosok yang setia bersama Setya ini hanya bersedih di dalam hati. Sehingga Setya tak tahu perasaan kakek sekarang seperti apa. Ia melihat kakek tersenyum-senyum saja, tetapi di dalam hati kakek sebenarnya bersedih.
            Merdunya suara burung hantu yang terdengar jelas di gubuk mereka, pertanda hari mulai malam. Malam itu, kakek menyempatkan diri untuk menyerut sebatang bambu yang siang tadi telah ia bilah-bilah. Tak tahu apa maksud kakek ini. Bisa jadi meringankan beban cucunya yang setiap hari mencari kayu bakar di hutan. Tak hanya mencari kayu bakar saja, tetapi masih memotong-motong lagi batang yang berukuran besar menjadi kayu bakar yang lebih kecil lagi. Dan tak hanya itu saja, Setya harus membawa kayu-kayu tersebut dengan jumlah yang tak sedikit ke rumahnya serta jaraknya yang cukup jauh.
            Gesekan antara batang bambu dengan sebilah pisau kecil kakek, menciptakan suara yang tak asing bagi Setya. Mengingat usia kakek yang semakin lanjut, tak memungkinkan mengasah pisau tersebut kembali. Kakek hanya bisa bersabar untuk menyerut bambu tersebut, karena pisaunya sudah tak tajam lagi. Meskipun suara tersebut terdengar cukup halus, membuat Setya ingin menemui pusat suara itu.
            “Kakek! Kakek ngapain malam-malam menyerut bambu itu? Tadi siang sudah dibilah-bilah, sekarang diseruti. Buat apa sih, Kek?”
            “Enggak, Cu! Kakek tak bisa tidur sekarang. Jadi, Kakek duduk-duduk saja.”  “Aduh Kakek, masih sempatnya bilang duduk-duduk. Sudah jelas Kakek masih bersama bambu itu sejak siang tadi. Sudahlah Kek, mari kita tidur!”
            Kakek pun berjalan menuju tempat tidurnya. Bambu yang ia serut tadi, ia tinggal begitu saja. Sebenarnya ia tak sanggup meninggalkan bambu tersebut, tetapi ia tak ingin membuat cucunya kecewa. Saran dari cucunya sangat bagus. Ia harus memenuhi saran tersebut. Mungkin Setya belum tahu apa maksud kakek dengan bambu tersebut.
            Sang mentari kembali menyapa mereka. Di pagi yang cerah ini, Setya menjual kayu-kayu bakarnya yang kemarin ia cari di hutan kepada tetangga di sekitar gubuknya. Berkeliling kesana-kemari, menuju pintu ke pintu rumah tetangganya, demi sebutir uang untuk membeli segenggam beras dan seiris lauk.
Upah sebesar 5000 perak, ia dapat sepanjang pagi ini. Hasil ini memang tak sebanding dengan jerih payahnya. Setya harus berjalan menyusuri hutan demi mendapatkan kayu-kayu di siang hari yang panas, membawa kayu-kayu tersebut dengan cara menggendongnya, sangat tak pantas dengan upah sekecil ini. Ia ingin mendapat uang lebih dari jerih payahnya selama ini, tetapi sangat sulit sekali baginya menjual kayu bakar tersebut dengan harga yang cukup mahal. Mengingat tetangga di sekitar gubuknya telah memakai kompor gas, sehingga tak banyak yang membeli kayu bakar Setya untuk dijadikan bahan bakar memasak. Betapa sengsara nasibnya. Tapi, semua ini tak membuatnya untuk berputus asa dan menyerah begitu saja.
            Saat Setya menjajakan kayu bakarnya, kakek masih tetap menyerut bambu yang semenjak kemarin ia potong, bilah-bilah, hingga ia serut. Apa yang dilakukan oleh kakek terhadap bambu tersebut? Apa mungkin kakek membantu Setya untuk mencukupi kebutuhan hidup dengan bambu tersebut? Ini masih menjadi misteri tersendiri bagi Setya.
            Hanya dengan waktu empat jam menjajakan kayu bakar, Setya kembali ke gubuk untuk beristirahat. Siang ini, Setya bersyukur sekali. Karena dagangannya ludes terjual.      “Lihat, Kek! Kayu bakar Setya sudah ludes terjual. Uangnya Setya belikan beras sama tempe untuk kita masak sekarang.”
            “Alhamdulillah, Cu. Sisanya, jangan lupa untuk ditabung ya!”
            “Pasti dong, Kek! Ngomong-ngomong, Kakek ngapain dengan bambu itu sih, Kek? Sejak kemarin, Kakek masih dengan bambu itu.”
            “Enggak apa-apa, Cu!”
            “Sudah, Kek. Jangan sama bambu itu! Sekarang kita masak beras dan tempe ini. Untuk makan kita sekarang.”
            “Baik, Cu. Tapi, bantu Kakek berdiri. Kakek sudah tak kuat lagi untuk menopang badan Kakek.”
            “Baik, Kek. Setya akan membantu Kakek berjalan.”
***
Seminggu kemudian,
            Setya menuju ke hutan di mana ia mencari kayu bakar. Kali ini, ia tak mencari kayu bakar lagi. Melainkan mencari sepotong kayu sebagai alat bantu berjalan kakeknya. Ia berjalan kesana-kemari, menelusuri hutan untuk mendapat sepotong kayu sebagai tongkat berjalan kakeknya. Hingga pada akhirnya, Setya mendapat kayu yang ia harapkan. Tapi, kayu tersebut masih terlalu besar. Sehingga ia harus memotongnya lebih kecil lagi dan menyerutnya agar terasa halus di tangan kakeknya nanti.
            Mengetahui Setya mencari tongkat kayu di hutan, kakek tak ingin merepotkan cucunya. Kakek mengambil tongkat bambu yang sejak kemarin ia serut di bawah lemarinya. Kakek harus merangkak dan menengkurapkan tubuhnya demi meraih tongkat bambu itu. Ia sudah tak bisa berjalan lagi, berdiri pun tak kuat.
            Di hutan, Setya telah selesai membuat tongkat kayu untuk kakeknya. Setya langsung berlari menuju ke gubuknya untuk memberikan tongkat kayu tersebut kepada kakeknya. Sesampainya di gubuk, ia tak mendengar suara sedikit pun dari dalam gubuknya. Ia mengucapkan salam berkali-kali, namun tak ada yang menjawab. Akhirnya, ia memanggil-manggil kakeknya, namun kakeknya tak menjawab. Mengetahui hal ini, ia beristirahat sejenak di depan gubuknya dan ia berpikiran bahwa mungkin kakeknya masih di kamar mandi belakang gubuknya.
            Hampir tiga puluh menit Setya beristirahat. Ia pun masuk ke dalam gubuknya untuk memberikan tongkat kayu yang ia dapat untuk kakeknya. Ia memanggil-manggil kakeknya kembali, namun ia tak mendengar respon dari kakeknya. Ia pun mencari kakeknya di kamar mandi belakang gubuknya, namun kakek tak ada di tempat.
Hingga suatu ketika, Setya menuju ke kamarnya. Di kamarnya tersebut, ia melihat kakeknya tergeletak lemas di lantai kamarnya. Setya langsung berlari menuju kakek untuk membangunkan kakeknya yang mungkin saja saat itu tertidur di lantai. Namun, kakek tak terbangun. Ia semakin gelisah melihat kakeknya yang tak terbangun. Saat itu, Setya hanya bisa meronta-ronta dan menangis.
            “Kakek! Bangun, Kek! Jangan tinggalkan Setya sendirian! Setya sudah tak punya apa-apa lagi kecuali Kakek. Bangun, Kek…..!!!”
            Saat Setya berusaha membangunkan kakeknya, ia melihat di samping kakeknya terdapat sebuah tongkat dari bambu. Ia tak tahu dari mana tongkat bambu berasal. Karena saat itu Setya hanya bisa menangis dan menangis di samping kakeknya.
***
Sebulan kemudian,
            Setya telah ikhlas ditinggal oleh kakek. Ketika Setya membersihkan tempat tidur kakeknya, ia menemukan selembar kertas di bawah kasur kakeknya. Nampaknya, selembar kertas itu adalah surat untuk Setya yang ditulis oleh kakeknya sebelum meninggal.
            Setya cucu kakek yang sangat baik. Kakek sangat menghargai usaha Setya untuk mencukupi kebutuhan hidup kita. Setya memang cucu kakek yang paling hebat. Setya memang cucu kakek yang paling kuat. Setya, maafkan kakek yang selama ini melukai hatimu, merepotkanmu, bahkan membohongimu. Semenjak Setya mengetahui kakek yang sedang sibuk dengan bambu tersebut, kakek hanya bisa bilang tak apa-apa ke Setya. Karena kakek tak ingin menambah beban Setya.
            Setya, saat ada hari untuk kita berpisah, maka jangan pernah untuk bersedih. Dan jika suatu saat habis masa kakek, maka jangan pernah untuk menangisinya.
            Setya, yakinlah bahwa kakek tak akan pergi jauh dari Setya. Hanya saja, raga kakek yang tak bersama Setya lagi. Tapi, sukma dan ruh kakek akan selalu bersama Setya di mana pun Setya berada. Kakek akan selalu ada di pikiran Setya hingga turun ke hati Setya. Kakek tak akan pernah meninggalkan Setya, karena kakek sangat sayang dengan Setya.
Setya, tolong jaga dan rawatlah tongkat bambu yang kakek buat. Tolong letakkan di dinding gubuk kita. Dan tolong letakkan berdampingan dengan tongkat kayu Setya yang kakek belum tahu wujudnya. Kakek minta tolong seperti ini, agar Setya selalu ingat kepada kakek. Satu lagi Setya, tolong jangan taruh di dinding kamar Setya. Agar Setya tak selalu menangisi kakek setiap Setya akan tidur.
Setya cucu kakek, hapuslah air mata yang mengalir di pipi Setya sekarang. Karena kakek tak sanggup melihat cucu kakek bersedih dan menangis. Kakek yakin bahwa Setya adalah anak yang hebat dan kuat. Sehingga Setya tak pantas untuk seperti ini.
Setya. Bangkitlah, Cu!
Cucu kakek yang paling kakek cintai.
Membaca pesan tersebut, membuat Setya lebih tegar untuk menjalani hidupnya. Walaupun Setya hidup sebatang kara tanpa ada yang menemaninya dan ia belum sempat memberikan tongkat kayu yang ia cari serta ia buat dengan tangan mungilnya di hutan untuk kakek. [ ]

Surabaya, 6 Nopember 2016

Biodata:
RYAN P. PUTRA. Penulis asal Surabaya. Menulis “Kelinci Percobaan K-13” (FAM Publishing, 2016). Mahasiswa S1 Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Senin, 21 November 2016

{Cerpen} Tetesan Air Hujan dan Sepasang Sandal di Tangan Sekar

Tetesan Air Hujan dan Sepasang Sandal di Tangan Sekar

Ryan P. Putra
(Dimuat di Flores Sastra edisi 21 Nopember 2016)
 http://floressastra.com/2016/11/21/tetesan-air-hujan-dan-sepasang-sandal-di-tangan-sekar-cerpen-ryan-p-putra/

             Sekar menanti kehadiran seorang lelaki di tepi sungai.
            Siapa lagi jika bukan pujaan hati Sekar. Mereka berjanji bertemu di tempat itu, karena sekitar dua tahun lalu kisah cinta mereka berawal dari tepi sungai yang ada di taman tengah kota. Cukup unik dan tidak disangka-sangka awal pertemuan mereka. Ketika Sekar menemukan sebuah sandal di tepi sungai, tiba-tiba datang seorang lelaki yang meminta sandal itu.
            “Permisi, Mbak. Itu sandalku.”
            “Iyakah, Mas? Kok bisa ada di sini ya?”
            “Iya, Mbak. Tadi dilempar sama temanku.”
            Pikir Sekar, lelaki itu bodoh. Bagaimana tidak bodoh, sandal yang di kaki bisa terlempar sampai di tepi sungai. Sambil memberikan sandal itu, sekejap Sekar memandang bola matanya. Tidak menunjukkan sedikit pun kalau lelaki itu bodoh. Bisa jadi korban keisengan teman-temannya. Untung saja sandal itu tidak sampai tercebur di sungai. Andai sandal itu tercebur, mungkin kisah cinta Sekar dan lelaki itu tidak terjadi.
            Mereka berkenalan dan sempat bertukar nomor ponsel. Tradisi itu sudah mendarah daging di zaman modern seperti sekarang. Bahkan ada yang menganggap bertukar nomor ponsel ketika pertama kali bertemu merupakan hal yang wajib. Hal aneh tapi nyata. Mengingat Sekar masih meneliti ekosistem di taman itu untuk tugas kuliahnya dan lelaki itu ditunggu oleh teman-temannya, mereka berpisah.
            Tidak sampai dua jam selepas perpisahan mereka, lelaki itu mengirim pesan singkat kepada Sekar. Wahyu, nama lelaki itu. Bermula dari itu, mereka menjadi sepasang kekasih sejak sepuluh tahun bersahabat. Tidak terduka sama sekali mereka bisa seserius ini.
            Sekar masih menanti kehadiran seorang lelaki di tepi sungai.
            Ia tidak tahu di mana kekasihnya sekarang. Mungkin terjebak macet atau bisa jadi lupa acara pertemuan ini. Rasanya tidak mungkin jika Wahyu lupa akan hal itu. Semenjak ia kenal hingga menikah dengan Sekar, ia tidak pernah melupakan hal sekecil apapun. Jarum yang biasanya digunakan untuk menjahit celana, ia masih ingat betul tempatnya. Walau sudah beberapa minggu tidak digunakan lagi.
            “Di mana ya, Wahyu? Kok gak datang-datang juga?” pikir Sekar, bertanya-tanya di dalam hatinya. Sekar semakin gelisah menunggu kekasihnya yang belum datang. Ponsel di tasnya, ia keluarkan dan menelepon Sekar. Ponsel Wahyu aktif, namun tidak dijawab telepon Sekar.
            “Ah, kemana sih Sekar? Dihubungi kok gak diangkat-angkat sih?”
            Hampir setengah jam Sekar menunggu. Ia mondar-mandir di sekitar tepi sungai, melihat jarum jam di tangannya yang perlahan pergi meninggalkan waktu pertemuan mereka. Tidak lupa ia menelepon Wahyu berkali-kali, namun tetap tidak dijawab. Ia semakin khawatir seiring datangnya mendung yang semakin gelap. Nampaknya akan hujan deras dan pertemuan mereka bisa batal.
            Perlahan air dari langit turun ke bumi, setetes demi setetes. Itu bukan hambatan Sekar untuk menanti Wahyu, kekasihnya tiada tara. Detik demi detik, hingga menit demi menit, tetesan air hujan itu kian menderas dan kekasihnya tidak kunjung datang. Mengatasi tetesan itu ia gunakan tangannya sebagai pengganti payung untuk sementara waktu.
            Gerimis menjadi hujan, membuat Sekar menunda pertemuannya sementara waktu. Ia harus berteduh di teras toko makanan ringan yang tidak jauh dari tepi sungai. Ia berlari menuju tempat itu. Tetesan air hujan tetap mengguyur tangannya dan tidak bisa melindungi tubuh Sekar seutuhnya. Hingga membasahi sebuah kotak kado yang ia persembahkan untuk Wahyu.
            Kotak kado yang terbungkus kertas warna merah hati sebagai bukti kasih sayang Sekar kepada Wahyu, menjadi basah kuyup begitu saja. Sekar bersedih. Kekasihnya tidak datang dan kadonya pun rusak. Ia semakin bersedih ketika ponselnya berdering dan mendapat kabar kalau Wahyu kecelakaan mobil. Awalnya Sekar tidak percaya dengan hal itu. Namun peristiwa itu diperkuat saat nomor ponsel yang diterimanya adalah nomor dari ponselnya Wahyu. Polisi yang menelepon Sekar, mengabarkan bahwa Saudara Wahyu saat ini dalam kondisi kritis dan sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit.
            Sontak Sekar kaget dan mencari kebenaran berita itu sekarang juga. Ia berlari menuju rumah sakit tanpa memperkirakan terlebih dahulu. Hanya tangan dengan kado itu ia taruh di kepalanya untuk menutupi dari derasnya tetasan air hujan.
            Suasana rumah sakit menjadi gaduh ketika Sekar tiba dan mencari ruangannya Wahyu. Baju Sekar yang basah kuyup, membuat pengunjung rumah sakit marah. Mereka pikir Sekar orang gila yang hujan-hujan kemudian berteduh di rumah sakit. Kemarahan mereka teredam ketika seorang satpam mencoba menenangkan mereka yang tidak bisa mengontrol emosinya.
            Satpam itu mengantarkan Sekar ke ruangan Wahyu, dan Sekar pun bertemu dengan dokter yang kebetulan keluar dari ruangan itu.
            “Bagaimana kondisinya, Dok?”
            “Mohon maaf. Nyawanya tak bisa tertolong lagi.”
            “Apa, Dok?!”
            “Ia meninggal. Saya turut berbela sungkawa yang sebesar-besarnya.”
            Sekar tidak percaya dengan pernyataan dokter. Pintu ruangan Wahyu dirawat, ia dobrak begitu saja. Ia melihat selembar kain putih menutupi tubuh seseorang, ternyata benar itu tubuh Wahyu yang telah tewas pasca kecelakaan itu. Tubuh Sekar yang tadinya basah kuyup, semakin basah karena air matanya tidak bisa terbendung lagi. Melihat kekasihnya yang selama ini ia sayangi terlentang tidak berdaya di kasur ruangan itu.
            Sekar membuka kain putih di wajah Wahyu.
            “Sayang, aku mohon kau bangun. Kau tak lihat apa yang aku bawa sekarang? Ini kenangan kita yang dulu. Kenangan saat awal kita bertemu.”
            Tidak ada yang bisa diucapkan Sekar lagi. Ia hanya menunjukkan kado sepasang sandal tanpa kertas pembungkusnya. Kertas itu basah, kemudian rapuh dimakan air hujan selepas perjuangannya menuju rumah sakit.
            Kini hanya sepasang sandal di tangan Sekar yang menjadi saksi kenangan terakhirnya bersama Wahyu. Dan tidak mungkin bisa terulang kembali hingga Sekar menjemput Wahyu ke alam perdamaian. [ ]

Surabaya, 19 Nopember 2016



Biodata:
RYAN P. PUTRA. Mahasiswa S1 Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Kamis, 22 September 2016

{Artikel} Ada Bujang Ganong di Wisuda ITS

Ada Bujang Ganong di Wisuda ITS
Ryan P. Putra
Mahasiswa ITS Surabaya
(Dimuat di Harian Surya Edisi 22 September 2016)
http://surabaya.tribunnews.com/2016/09/21/ada-bujang-ganong-dan-jathil-di-wisudah-its

WISUDAWAN dan wisudawati diarak, tentu itu hal biasa. Lain cerita saat acara sakral tersebut ditangani Himpunan Mahasiswa Fisika (Himasika) ITS Surabaya dan menjadikan prosesi wisuda lebih berkesan.
Himasika mengikutsertakan para mahasiswa fisika baru angkatan 2016. Sebelumnya, Himasika bagian Departemen Dalam Negeri mengamanahi Sakti, mahasiswa 2016, sebagai koordinator angkatan untuk mempersiapkan divisi-divisi demi memeriahkan wisuda.
“Dana pengeluaran harus seminimal mungkin! Meski dananya minim, kita harus memeriahkan acara ini,” tekan mahasiswa asal Blitar tersebut.
Salah satu divisi yang membuat heboh acara adalah divisi maskot. Menurut Niko, sie koordinator, maskot diambil dari sosok Bujang Ganong yang diperankan Humam dan Jathil yang dimainkan Erda. Meski penampakan maskot terlihat buruk, tetapi dari dalamnya ia sosok yang cerdas serba bisa, lemah lembut, dan jenaka.
Saat maskot sudah beres, divisi lain bertekat membuat acara lebih meriah lagi dengan arak-arakan dan yel-yel. Dikoordinatori Nia dan Edwin, mereka saling melengkapi agar jalannya arak-arakan dengan lagu dan koreografi yang membuat semangat.
Tema wisuda 114 yang diusung mahasiswa fisika angkatan 2016 kali ini adalah Physics van Java. Hal ini membuat Febri (suvenir), Rima (gapura), Iqbal (hias kendaraan), dan Prisella (dresscode) bersama tim mereka mengkreasikan ide-ide sesuai dengan tema yang diusung.
Meski menekan biaya acara, namun tak mengurangi hasil kreasi mereka yang ternyata sangat apik.

Show off drama musikal yang disutradarai Write Seringgila tak kalah apiknya saat perform di Plaza Fisika di depan wisudawan dan wisudawati bersama wali mereka lewat judul Kupinang Kau dengan Buku Fisika, membuat prosesi pelepasan wisuda berlangsung meriah, Sabtu (17/9/2016) lalu.

Rabu, 24 Agustus 2016

{Artikel} Hujan Air Mata di Kalilom Surabaya

Hujan Air Mata di Kalilom Surabaya



Ryan P. Putra
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(Dimuat di Harian Surya edisi 23 Agustus 2016)
http://surabaya.tribunnews.com/2016/08/22/hujan-air-mata-di-kalilom-surabaya

ULANG tahun kemerdekaan  Indonesia dirayakan dengan berbagai cara. Namun, warga Kalilom Lor Indah Gang Melati, Surabaya ini merayakannya dengan aksi banjir air mata. 
Kejutan menjadi kata kunci mengapa warga Kalilom Lor ini sampai harus menangis, Selasa (16/8/2016) malam itu. Teguh dan Chamid, Ketua dan Pembina Karang Taruna (kartar) Jasmine, dua orang di balik aksi luar biasa tersebut.
Mungkin aksi ini sedikit tidak berhubungan dengan peringatan Kemerdekaan Indonesia. Namun, apapun itu, seorang ibu adalah  pahlawan, setidaknya bagi anak-anak dan keluarganya.
Awalnya, tanpa penjelasan apapun, anggota kartar diminta untuk menata kursi di tempat yang telah disediakan dan menuangkan air ke baskom yang telah disiapkan sebelumnya.
Mereka hanya mengetahui bila semua kesibukan itu untuk memeringati HUT Kemerdekaan Indonesia. Tanpa tambahan acara macam-macam.
Tak lama berselang, Chamid meminta semua anggota kartar dan semua anak-anak di gang Melati untuk mencuci kaki ibunya masing-masing.
Kaget dan tanpa menduga,  setiap ibu dan anak yang menjalani prosesi cuci kaki pun sontak dibuat terharu.  Isak tangis pun tak kuasa dibendung seluruh hadirin malam itu.
“Bagaimana pun, ibu adalah pahlawan untuk kita semua. Hormati ibumu dan sayangi ibumu,” pinta Chamid yang juga tak kuasa bisa menahan air matanya.
Para ibu yang kakinya telah dicuci mendapat bunga origami dari buah hatinya masing-masing. Meski bukan bunga asli, bunga kertas tersebut melambangkan ketulusan kasih sayang mereka kepada sang bunda.
Air mata warga gang Melati kembali  tumpah ketika Samian, warga gang Melati, memberi wejangan sebelum memanjatkan doa. Ia bercerita tentang seorang tokoh yang mencuci kaki ibunya lalu meminum air cucian tersebut. Konon, air bekas cucian kaki seorang ibu merupakan jaminan seseorang masuk surga.
Tak kalah gembiranya adalah Teguh, yang menggagas acara tersebut sejak setahun silam dan akhirnya bisa terlaksana malam itu.
Sungguh, malam tujuh belasan tahun ini terasa berbeda di Kalilom. Meski sarat banjir air mata, namun tak membuat jiwa nasionalisme dan patriotisme mereka untuk negara pudar.