Misteri Gerhana
Ryan P. Putra
(Dimuat di Waspada edisi 5 Juni 2016)
Cindy tak seperti warga
kota yang begitu antusias. Diperkirakan BMKG sehari lagi akan terjadi gerhana.
Ia tak mengerti gerhana. Makhlum, usianya masih kanak-kanak yang pikirannya
hanya bermain.
“Gerhana
itu apa ya, Bu?”
“Owala,
Nduk1). Gerhana itu, waktu di mana matahari
atau bulan dimakan Batara Kala.”
“Batara
Kala itu siapa?”
“Ia
raksasa jahat yang suka makan daging manusia.”
Cindy
terpaku akan jawaban ibunya. Tak ada respon yang diutarakan. Pikirnya, saat
gerhana ia harus sembunyi di kolong ranjang agar tidak dimakan Batara Kala.
Pagi
ini tak seperti pagi biasanya. Mentari yang biasanya tersenyum ceria tak
menunjukkan eksistensinya. Mungkin malu-malu. Beberapa jam lalu ayam jago telah
berkokok kini kembali mendendangkan nada yang sama, mengingat waktu menuju
senja. Hingga gelap gulita. Apakah ini malam yang cepat? Atau akan berakhirnya
zaman? Tentu tidak. Posisi matahari, bulan, dan bumi terletak sejajar. Pada
garis lurus. Tanpa ada halangan benda-benda langit yang lain. Benar, itu
gerhana matahari.
Kesunyian
pedesaan seketika menjadi kegaduhan. Suara kentongan dan lesung2) semakin
bergemuruh hingga terdengar di kampung sebelah. Bukan kebakaran hutan atau
letusan gunung berapi yang membuat warga harus mengungsi. Gerhana merajai hari.
Warga yang beristirahat di gubuk menjadi bertebaran bagai debu yang diterpa
angin. Tak jelas arahnya dan tujuannya.
Cindy
yang bermain cublak-cublak suweng3)
dengan teman-temannya, seketika kaget melihat warga-warga yang berlarian.
“Ndang mlayu, Rek! Onok grahono saiki. Selak
dipangan karo Botoro Kolo.”4)
Mendengar
ungkapan dari salah satu warga, Cindy dan teman-temannya membubarkan diri dan
mengambil langkah seribu menuju ke gubuknya masing-masing. Cindy yang paling
kecil di antara teman-temannya, berteriak dan menangis. Tak ada warga yang
menghiraukannya. Mereka saling menyelamatkan diri.
Untung saja, gubuk
Cindy tak jauh dari tempat bermainnya itu. Ketika tiba di gubuk, ia memanggil
kedua orang tuanya dengan rasa khawatir.
“Ibu! Bapak! Di mana?”
Kedua
orang tuanya tak ada di gubuk.
Cindy mencari ke
seluruh bagian gubuk, tetap tak ada. Di mana keberadaan mereka? Ia tak tahu. Tanpa
berpikir panjang, ia bersembunyi di kolong ranjangnya. Tempat persembunyian
teraman. Air matanya tak dapat terbendung. Mengalir semakin deras. Seiring
bisingnya suara warga yang berlarian menggebu-gebu.
Tak ada yang bisa
dilakukan gadis kecil ini. Keluar dari kolong ranjangnya pun tak bisa.
Ketakutan. Apakah ia kesepian? Tidak. Selimut pemberian almarhum kakeknya,
memeluknya melewati masa duka ini. Serta boneka beruang menemaninya di
kegelapan hari dan kolong ranjangnya yang tiada secercah cahaya.
Tak ada orang di
sampingnya. Ia percaya bahwa Tuhan selalu mengawasinya. Ia berdoa, semoga kedua
orang tuanya masih hidup dan tidak dimakan Batara Kala.
***
Hampir
setengah jam Cindy di kolong ranjang. Lisannya tak berhenti mengutarakan
doa-doa keselamatan. Doanya terkabul sementara. Kegaduhan di desanya menjadi
ketenangan. Suara-suara bising itu teredam akan lamanya waktu, sedikit demi
sedikit. Mungkin keadaan sudah tenang, namun ia tetap tak beranjak keluar dari
tempat persembunyiannya. Lagi-lagi karena ketakutan.
Kesedihan
Cindy mereda. Namun, semilirnya perasaan bosan dan penasaran. Ia memberanikan
diri merangkak meninggalkan kolong ranjang. Demi mengintip langit melalui bibir
jendela kamar. Rasa was-was tetap bergelimang di kepalanya terhadap sosok
raksasa yang mungkin akan memakannya.
Perlahan
ia merangkak, selangkah demi selangkah mendekati jendela. Dibukalah jendela dari
kayu sedikit demi sedikit.
Krieeekkkk.
Cindy mengintip ke luar
jendela. Tebakannya benar. Langit-langit masih gelap, namun tak segelap tadi.
Terlihat remang-remang. Seperti waktu di mana sang surya terbangun dari
peristirahatannya.
“Ada
apakah ini sebenarnya? Mengapa langit yang gelap menjadi sedikit terang dengan
waktu begitu cepat? Apakah ini kehidupan baru setelah kiamat? Apakah aku ada di
surga? Tapi, di mana orang-orang?” Cindy bertanya kepada dirinya sendiri. Ia
masih polos. Pemikirannya masih mengada-ngada.
Cindy
menutup jendelanya kembali. Ia tetap takut untuk keluar dari kamar. Tak lama
berpikir, ia sembunyi di kolong ranjangnya yang kedua kalinya.
“Kata
Ibu, gerhana itu bulan atau matahari dimakan sama Batara Kala. Sekarang kan
pagi, jadi adanya matahari. Matahari kan bentuknya besar. Apa mungkin Batara Kala
bisa memakan matahari? Terus, aku tadi kok gak lihat raksasa itu ya? Apa
mungkin mataharinya sudah habis dimakan? Lalu pergi lagi.”
Cindy
tidak berhenti bertanya kepada dirinya sendiri. Pikirannya semakin aneh dan tak
dapat diterima. Tak dapat dipungkiri jika ia anak yang sifat penasarannya tiada
tandingannya. Mulai dari yang ini hingga yang itu. Apalagi yang ia pikirkan
bukan pelajaran sekolah dari gurunya atau strategi bermain permainan
favoritnya, cublak-cublak suweng.
Tetapi tentang gerhana. Sesuatu yang belum ia tahu kepastiannya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,
Cindy memberanikan diri melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang gerhana
tersebut. Tubuh mungilnya ia tata sedemikian rupa. Rasa takutnya sedikit pudar,
mengingat pesan almarhum kakeknya untuk menjadi anak yang pemberani.
Gadis
kesepian ini kembali membuka jendela kamarnya, hingga terbuka lebar. Ia
menengok kanan dan kiri, tidak ada orang di pandangannya. Ia melihat langit
yang begitu indah. Sedikit menyeramkan karena ada lingkaran hitam di matahari.
Kedua matanya silau. Kacamata yang bersandar di meja, ia ambil lalu memakainya.
Bukan untuk bergaya layaknya artis-artis top. Demi menjaga panca inderanya.
Langit
senja beranjak pergi. Langit cerah kembali hadir. Cindy memperhatikan perubahan
yang ada di matahari. Terkadang melihat, terkadang memalingkan. Kuatnya pancaran
sinar matahari yang membuatnya berpaling.
“Lho?
Kata Ibu gerhana itu matahari dimakan Batara Kala. Tapi aku kok gak lihat ya? Yang
aku lihat hanya lingkaran hitam di matahari mulai menghilang sedikit demi
sedikit. Kenapa ya?”
Misteri
gerhana yang dimakan Batara Kala hanya mitos! Sebuah benda yang telah dimakan
tak akan kembali asalnya. Cindy mengetahui itu. Lantas, di mana semua orang? Apa
mungkin telah meninggalkan desa? Tidak.
Warga
berlarian menuju ke sebuah gua. Mereka bersembunyi.
Ah,
ini sungguh tak masuk akal.
Lain
ladang lain belalang. Pepatah yang tak asing didengar lagi. Jika gerhana di
kota warga menari-nari, warga di desa terkencing-kencing.
“Nduk, kowe nandi?”5)
“Aku
di kamar.”
Sosok
yang diharapkan Cindy masih hidup memangilnya. Ibu dan ayahnya kembali ke
gubuk. Mereka menemui anak semata mayangnya di kamar. Memeluk Cindy dengan
erat.
Tiada
tara.
Cindy
tak takut lagi dengan gerhana. Ia tahu, warga desa berlarian demi menjaga
kearifan lokal daerah yang terjadi tiga abad sekali. [ ]
Keterangan :
1. Nduk
: Panggilan (sayang) untuk perempuan di Jawa (biasanya dari orang yang lebih
tua kepada anaknya, keponakan, dll).
2. Lesung
: Alat tradisional untuk menumbuk padi
3. Cublak-cublak suweng :
Permainan tradisional Jawa yang diciptakan oleh Sunan Giri
4. Ndang mlayu, Rek! Onok grahono saiki.
Selak dipangan karo Botoro Kola : Segera lari, Nak! Ada
gerhana sekarang. Sebelum dimakan Batara Kala.
5. Nduk, kowe nandi?
: Nduk, kamu di mana?