Rabu, 29 Juni 2016

{Resensi} Sepenggal Kisah Cinta di Surabaya

Sepenggal Kisah Cinta di Surabaya
Ryan P. Putra
(Dimuat di Radar Surabaya Edisi 26 Juni 2016)


JUDUL BUKU: SURABAYA WHATEVER LOVE
PENULIS: ADNAN BUCHORI, DKK
PENERBIT: PRIMA PUSTAKA
CETAKAN: PERTAMA, JULI 2012
TEBAL: 227 HALAMAN
ISBN: 978-602-7692-10-7

Siapakah yang tidak tahu Surabaya? Kota yang mendapat julukan Kota Pahlawan ini, menyimpan banyak kisah yang tidak terbatas jumlahnya. Kisah-kisah tersebut tidak hanya datang dari penduduk asli kota melainkan orang yang menjadikan Surabaya sebagai tempat destinasinya. Salah satu kisah yang tidak ada habisnya jika dibahas yakni kisah cinta.
Cinta memang tidak mengenal siapapun. Baik usia muda hingga tua pasti pernah merasakannya. Perasaan yang timbul dari hati ini, tidak ada seorang pun yang mampu memusnahkan atau menghilangkannya. Mengingat cinta merupakan salah satu perasaan yang harus ada di setiap insan.
Cinta bisa serupa rasa rawon, tahu tek, bahkan seindah jajaran bunga sepanjang Jalan Kayun. Karena cinta telah menemukan ruangnya. Dipersembahkan atas nama cinta dari Surabaya untuk dunia, sebagai oleh-oleh yang tidak akan basi dimakan sang waktu.
Dengan latar belakang itulah, Adnan Buchori, dkk mencoba mengekspresikan kisah-kisah cinta yang diusung di dalam buku Surabaya Whatever Love. Melalui buku ini, para penulis dari berbagai kalangan menceritakan cinta mereka dengan gaya bahasa ala Suroboyoan yang kaya akan kosa kata. Tidak hanya bahasa saja, latar cerita yang diangkat berasal dari tempat-tempat di Surabaya, seperti: Gelora 10 November, Stasiun Gubeng, Gedung Setan, Stasiun Wonokromo, Tunjungan Plaza, House of Sampoerna, Jembatan Petekan, Kebun Binatang Surabaya, dan berbagai nama jalan di Surabaya.
Meskipun berlatar tempat-tempat terkenal di Surabaya, kisah cinta yang ditulis tidak mengurangi tingkat keromantisannya. Seperti kisah yang diangkat oleh Verena Mumtaz berjudul Ada Cinta di House of Sampoerna. Awal cerita, Ranti bertemu dengan seorang lelaki yang bernama Ari di HoS, House of Sampoerna. Ranti terkesima saat lelaki yang ia temui menceritakan kenangan indahnya bersama kekasihnya di tempat itu. Namun, Ranti menjadi jawaban atas penantian Ari selama bertahun-tahun ketika ia tahu bahwa kekasih Ari telah meninggal (hlm: 99-110).
Jangan Pergi, Bonita! (hlm: 1-13) merupakan cerita pertama yang ada di halaman buku ini. Sang penulis cerita, Adnan Buchori menyuguhkan secara apik cerita antara @ra_Nggantengblas (Rangga) dengan @ningDilla (Dilla) yang saling berbalas tweet membahas Bonita, Bonek Wanita. Kemudian ditutup dengan cerita Nyanyi Sunyi Sekeping Hati (hlm: 206-221) yang ditulis oleh Titie Surya dan tidak kalah romantisnya.



Biodata:
RYAN P. PUTRA, penulis buku Kelinci Percobaan K-13 (2016) dan mahasiswa S1 Konsentrasi Fisika ITS Surabaya

Rabu, 08 Juni 2016

{Cerpen} Misteri Gerhana


Misteri Gerhana
Ryan P. Putra
(Dimuat di Waspada edisi 5 Juni 2016)

Cindy tak seperti warga kota yang begitu antusias. Diperkirakan BMKG sehari lagi akan terjadi gerhana. Ia tak mengerti gerhana. Makhlum, usianya masih kanak-kanak yang pikirannya hanya bermain.
            “Gerhana itu apa ya, Bu?”
            “Owala, Nduk1). Gerhana itu, waktu di mana matahari atau bulan dimakan Batara Kala.”
            “Batara Kala itu siapa?”
            “Ia raksasa jahat yang suka makan daging manusia.”
            Cindy terpaku akan jawaban ibunya. Tak ada respon yang diutarakan. Pikirnya, saat gerhana ia harus sembunyi di kolong ranjang agar tidak dimakan Batara Kala.
            Pagi ini tak seperti pagi biasanya. Mentari yang biasanya tersenyum ceria tak menunjukkan eksistensinya. Mungkin malu-malu. Beberapa jam lalu ayam jago telah berkokok kini kembali mendendangkan nada yang sama, mengingat waktu menuju senja. Hingga gelap gulita. Apakah ini malam yang cepat? Atau akan berakhirnya zaman? Tentu tidak. Posisi matahari, bulan, dan bumi terletak sejajar. Pada garis lurus. Tanpa ada halangan benda-benda langit yang lain. Benar, itu gerhana matahari.
            Kesunyian pedesaan seketika menjadi kegaduhan. Suara kentongan dan lesung2) semakin bergemuruh hingga terdengar di kampung sebelah. Bukan kebakaran hutan atau letusan gunung berapi yang membuat warga harus mengungsi. Gerhana merajai hari. Warga yang beristirahat di gubuk menjadi bertebaran bagai debu yang diterpa angin. Tak jelas arahnya dan tujuannya.
            Cindy yang bermain cublak-cublak suweng3) dengan teman-temannya, seketika kaget melihat warga-warga yang berlarian.
            “Ndang mlayu, Rek! Onok grahono saiki. Selak dipangan karo Botoro Kolo.”4)
            Mendengar ungkapan dari salah satu warga, Cindy dan teman-temannya membubarkan diri dan mengambil langkah seribu menuju ke gubuknya masing-masing. Cindy yang paling kecil di antara teman-temannya, berteriak dan menangis. Tak ada warga yang menghiraukannya. Mereka saling menyelamatkan diri.
Untung saja, gubuk Cindy tak jauh dari tempat bermainnya itu. Ketika tiba di gubuk, ia memanggil kedua orang tuanya dengan rasa khawatir.
“Ibu! Bapak! Di mana?”
            Kedua orang tuanya tak ada di gubuk.
Cindy mencari ke seluruh bagian gubuk, tetap tak ada. Di mana keberadaan mereka? Ia tak tahu. Tanpa berpikir panjang, ia bersembunyi di kolong ranjangnya. Tempat persembunyian teraman. Air matanya tak dapat terbendung. Mengalir semakin deras. Seiring bisingnya suara warga yang berlarian menggebu-gebu.
Tak ada yang bisa dilakukan gadis kecil ini. Keluar dari kolong ranjangnya pun tak bisa. Ketakutan. Apakah ia kesepian? Tidak. Selimut pemberian almarhum kakeknya, memeluknya melewati masa duka ini. Serta boneka beruang menemaninya di kegelapan hari dan kolong ranjangnya yang tiada secercah cahaya.
Tak ada orang di sampingnya. Ia percaya bahwa Tuhan selalu mengawasinya. Ia berdoa, semoga kedua orang tuanya masih hidup dan tidak dimakan Batara Kala.
***
            Hampir setengah jam Cindy di kolong ranjang. Lisannya tak berhenti mengutarakan doa-doa keselamatan. Doanya terkabul sementara. Kegaduhan di desanya menjadi ketenangan. Suara-suara bising itu teredam akan lamanya waktu, sedikit demi sedikit. Mungkin keadaan sudah tenang, namun ia tetap tak beranjak keluar dari tempat persembunyiannya. Lagi-lagi karena ketakutan.
            Kesedihan Cindy mereda. Namun, semilirnya perasaan bosan dan penasaran. Ia memberanikan diri merangkak meninggalkan kolong ranjang. Demi mengintip langit melalui bibir jendela kamar. Rasa was-was tetap bergelimang di kepalanya terhadap sosok raksasa yang mungkin akan memakannya.
            Perlahan ia merangkak, selangkah demi selangkah mendekati jendela. Dibukalah jendela dari kayu sedikit demi sedikit.
Krieeekkkk.
Cindy mengintip ke luar jendela. Tebakannya benar. Langit-langit masih gelap, namun tak segelap tadi. Terlihat remang-remang. Seperti waktu di mana sang surya terbangun dari peristirahatannya.
            “Ada apakah ini sebenarnya? Mengapa langit yang gelap menjadi sedikit terang dengan waktu begitu cepat? Apakah ini kehidupan baru setelah kiamat? Apakah aku ada di surga? Tapi, di mana orang-orang?” Cindy bertanya kepada dirinya sendiri. Ia masih polos. Pemikirannya masih mengada-ngada.
            Cindy menutup jendelanya kembali. Ia tetap takut untuk keluar dari kamar. Tak lama berpikir, ia sembunyi di kolong ranjangnya yang kedua kalinya.
            “Kata Ibu, gerhana itu bulan atau matahari dimakan sama Batara Kala. Sekarang kan pagi, jadi adanya matahari. Matahari kan bentuknya besar. Apa mungkin Batara Kala bisa memakan matahari? Terus, aku tadi kok gak lihat raksasa itu ya? Apa mungkin mataharinya sudah habis dimakan? Lalu pergi lagi.”
            Cindy tidak berhenti bertanya kepada dirinya sendiri. Pikirannya semakin aneh dan tak dapat diterima. Tak dapat dipungkiri jika ia anak yang sifat penasarannya tiada tandingannya. Mulai dari yang ini hingga yang itu. Apalagi yang ia pikirkan bukan pelajaran sekolah dari gurunya atau strategi bermain permainan favoritnya, cublak-cublak suweng. Tetapi tentang gerhana. Sesuatu yang belum ia tahu kepastiannya.
             Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Cindy memberanikan diri melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang gerhana tersebut. Tubuh mungilnya ia tata sedemikian rupa. Rasa takutnya sedikit pudar, mengingat pesan almarhum kakeknya untuk menjadi anak yang pemberani.
            Gadis kesepian ini kembali membuka jendela kamarnya, hingga terbuka lebar. Ia menengok kanan dan kiri, tidak ada orang di pandangannya. Ia melihat langit yang begitu indah. Sedikit menyeramkan karena ada lingkaran hitam di matahari. Kedua matanya silau. Kacamata yang bersandar di meja, ia ambil lalu memakainya. Bukan untuk bergaya layaknya artis-artis top. Demi menjaga panca inderanya.
            Langit senja beranjak pergi. Langit cerah kembali hadir. Cindy memperhatikan perubahan yang ada di matahari. Terkadang melihat, terkadang memalingkan. Kuatnya pancaran sinar matahari yang membuatnya berpaling.
            “Lho? Kata Ibu gerhana itu matahari dimakan Batara Kala. Tapi aku kok gak lihat ya? Yang aku lihat hanya lingkaran hitam di matahari mulai menghilang sedikit demi sedikit. Kenapa ya?”
            Misteri gerhana yang dimakan Batara Kala hanya mitos! Sebuah benda yang telah dimakan tak akan kembali asalnya. Cindy mengetahui itu. Lantas, di mana semua orang? Apa mungkin telah meninggalkan desa? Tidak.
            Warga berlarian menuju ke sebuah gua. Mereka bersembunyi.
            Ah, ini sungguh tak masuk akal.
            Lain ladang lain belalang. Pepatah yang tak asing didengar lagi. Jika gerhana di kota warga menari-nari, warga di desa terkencing-kencing.
            “Nduk, kowe nandi?”5)
            “Aku di kamar.”
            Sosok yang diharapkan Cindy masih hidup memangilnya. Ibu dan ayahnya kembali ke gubuk. Mereka menemui anak semata mayangnya di kamar. Memeluk Cindy dengan erat.
            Tiada tara.
            Cindy tak takut lagi dengan gerhana. Ia tahu, warga desa berlarian demi menjaga kearifan lokal daerah yang terjadi tiga abad sekali. [ ]
           



Keterangan :
1.      Nduk : Panggilan (sayang) untuk perempuan di Jawa (biasanya dari orang yang lebih tua kepada anaknya, keponakan, dll).
2.      Lesung : Alat tradisional untuk menumbuk padi
3.      Cublak-cublak suweng : Permainan tradisional Jawa yang diciptakan oleh Sunan Giri
4.      Ndang mlayu, Rek! Onok grahono saiki. Selak dipangan karo Botoro Kola : Segera lari, Nak! Ada gerhana sekarang. Sebelum dimakan Batara Kala.
5.      Nduk, kowe nandi? : Nduk, kamu di mana?