Hujan Air Mata di Kalilom Surabaya
Ryan P. Putra
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(Dimuat di Harian Surya edisi 23 Agustus
2016)
http://surabaya.tribunnews.com/2016/08/22/hujan-air-mata-di-kalilom-surabaya
ULANG tahun kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan berbagai cara. Namun,
warga Kalilom Lor Indah Gang Melati, Surabaya ini merayakannya
dengan aksi banjir air mata.
Kejutan menjadi kata kunci
mengapa warga Kalilom Lor ini sampai harus menangis, Selasa (16/8/2016) malam
itu. Teguh dan Chamid, Ketua dan Pembina Karang Taruna (kartar) Jasmine, dua orang di balik aksi luar biasa
tersebut.
Mungkin aksi ini sedikit
tidak berhubungan dengan peringatan Kemerdekaan Indonesia. Namun, apapun itu,
seorang ibu adalah pahlawan, setidaknya bagi anak-anak dan keluarganya.
Awalnya, tanpa penjelasan
apapun, anggota kartar diminta
untuk menata kursi di tempat yang telah disediakan dan menuangkan air ke baskom
yang telah disiapkan sebelumnya.
Mereka hanya mengetahui bila
semua kesibukan itu untuk memeringati HUT Kemerdekaan Indonesia. Tanpa tambahan
acara macam-macam.
Tak lama berselang, Chamid
meminta semua anggota kartar dan
semua anak-anak di gang Melati untuk
mencuci kaki ibunya masing-masing.
Kaget dan tanpa
menduga, setiap ibu dan anak yang menjalani prosesi cuci kaki pun
sontak dibuat terharu. Isak tangis pun tak kuasa dibendung seluruh
hadirin malam itu.
“Bagaimana pun, ibu adalah
pahlawan untuk kita semua. Hormati ibumu dan sayangi ibumu,” pinta Chamid yang
juga tak kuasa bisa menahan air matanya.
Para ibu yang kakinya telah
dicuci mendapat bunga origami dari buah hatinya masing-masing. Meski bukan
bunga asli, bunga kertas tersebut melambangkan ketulusan kasih sayang mereka
kepada sang bunda.
Air mata warga gang Melati kembali
tumpah ketika Samian, warga gang Melati, memberi wejangan sebelum
memanjatkan doa. Ia bercerita tentang seorang tokoh yang mencuci kaki ibunya
lalu meminum air cucian tersebut. Konon, air bekas cucian kaki seorang ibu
merupakan jaminan seseorang masuk surga.
Tak kalah gembiranya adalah
Teguh, yang menggagas acara tersebut sejak setahun silam dan akhirnya bisa
terlaksana malam itu.
Sungguh, malam tujuh belasan
tahun ini terasa berbeda di Kalilom. Meski sarat banjir air mata, namun tak
membuat jiwa nasionalisme dan patriotisme mereka untuk negara pudar.