Senin, 21 November 2016

{Cerpen} Tetesan Air Hujan dan Sepasang Sandal di Tangan Sekar

Tetesan Air Hujan dan Sepasang Sandal di Tangan Sekar

Ryan P. Putra
(Dimuat di Flores Sastra edisi 21 Nopember 2016)
 http://floressastra.com/2016/11/21/tetesan-air-hujan-dan-sepasang-sandal-di-tangan-sekar-cerpen-ryan-p-putra/

             Sekar menanti kehadiran seorang lelaki di tepi sungai.
            Siapa lagi jika bukan pujaan hati Sekar. Mereka berjanji bertemu di tempat itu, karena sekitar dua tahun lalu kisah cinta mereka berawal dari tepi sungai yang ada di taman tengah kota. Cukup unik dan tidak disangka-sangka awal pertemuan mereka. Ketika Sekar menemukan sebuah sandal di tepi sungai, tiba-tiba datang seorang lelaki yang meminta sandal itu.
            “Permisi, Mbak. Itu sandalku.”
            “Iyakah, Mas? Kok bisa ada di sini ya?”
            “Iya, Mbak. Tadi dilempar sama temanku.”
            Pikir Sekar, lelaki itu bodoh. Bagaimana tidak bodoh, sandal yang di kaki bisa terlempar sampai di tepi sungai. Sambil memberikan sandal itu, sekejap Sekar memandang bola matanya. Tidak menunjukkan sedikit pun kalau lelaki itu bodoh. Bisa jadi korban keisengan teman-temannya. Untung saja sandal itu tidak sampai tercebur di sungai. Andai sandal itu tercebur, mungkin kisah cinta Sekar dan lelaki itu tidak terjadi.
            Mereka berkenalan dan sempat bertukar nomor ponsel. Tradisi itu sudah mendarah daging di zaman modern seperti sekarang. Bahkan ada yang menganggap bertukar nomor ponsel ketika pertama kali bertemu merupakan hal yang wajib. Hal aneh tapi nyata. Mengingat Sekar masih meneliti ekosistem di taman itu untuk tugas kuliahnya dan lelaki itu ditunggu oleh teman-temannya, mereka berpisah.
            Tidak sampai dua jam selepas perpisahan mereka, lelaki itu mengirim pesan singkat kepada Sekar. Wahyu, nama lelaki itu. Bermula dari itu, mereka menjadi sepasang kekasih sejak sepuluh tahun bersahabat. Tidak terduka sama sekali mereka bisa seserius ini.
            Sekar masih menanti kehadiran seorang lelaki di tepi sungai.
            Ia tidak tahu di mana kekasihnya sekarang. Mungkin terjebak macet atau bisa jadi lupa acara pertemuan ini. Rasanya tidak mungkin jika Wahyu lupa akan hal itu. Semenjak ia kenal hingga menikah dengan Sekar, ia tidak pernah melupakan hal sekecil apapun. Jarum yang biasanya digunakan untuk menjahit celana, ia masih ingat betul tempatnya. Walau sudah beberapa minggu tidak digunakan lagi.
            “Di mana ya, Wahyu? Kok gak datang-datang juga?” pikir Sekar, bertanya-tanya di dalam hatinya. Sekar semakin gelisah menunggu kekasihnya yang belum datang. Ponsel di tasnya, ia keluarkan dan menelepon Sekar. Ponsel Wahyu aktif, namun tidak dijawab telepon Sekar.
            “Ah, kemana sih Sekar? Dihubungi kok gak diangkat-angkat sih?”
            Hampir setengah jam Sekar menunggu. Ia mondar-mandir di sekitar tepi sungai, melihat jarum jam di tangannya yang perlahan pergi meninggalkan waktu pertemuan mereka. Tidak lupa ia menelepon Wahyu berkali-kali, namun tetap tidak dijawab. Ia semakin khawatir seiring datangnya mendung yang semakin gelap. Nampaknya akan hujan deras dan pertemuan mereka bisa batal.
            Perlahan air dari langit turun ke bumi, setetes demi setetes. Itu bukan hambatan Sekar untuk menanti Wahyu, kekasihnya tiada tara. Detik demi detik, hingga menit demi menit, tetesan air hujan itu kian menderas dan kekasihnya tidak kunjung datang. Mengatasi tetesan itu ia gunakan tangannya sebagai pengganti payung untuk sementara waktu.
            Gerimis menjadi hujan, membuat Sekar menunda pertemuannya sementara waktu. Ia harus berteduh di teras toko makanan ringan yang tidak jauh dari tepi sungai. Ia berlari menuju tempat itu. Tetesan air hujan tetap mengguyur tangannya dan tidak bisa melindungi tubuh Sekar seutuhnya. Hingga membasahi sebuah kotak kado yang ia persembahkan untuk Wahyu.
            Kotak kado yang terbungkus kertas warna merah hati sebagai bukti kasih sayang Sekar kepada Wahyu, menjadi basah kuyup begitu saja. Sekar bersedih. Kekasihnya tidak datang dan kadonya pun rusak. Ia semakin bersedih ketika ponselnya berdering dan mendapat kabar kalau Wahyu kecelakaan mobil. Awalnya Sekar tidak percaya dengan hal itu. Namun peristiwa itu diperkuat saat nomor ponsel yang diterimanya adalah nomor dari ponselnya Wahyu. Polisi yang menelepon Sekar, mengabarkan bahwa Saudara Wahyu saat ini dalam kondisi kritis dan sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit.
            Sontak Sekar kaget dan mencari kebenaran berita itu sekarang juga. Ia berlari menuju rumah sakit tanpa memperkirakan terlebih dahulu. Hanya tangan dengan kado itu ia taruh di kepalanya untuk menutupi dari derasnya tetasan air hujan.
            Suasana rumah sakit menjadi gaduh ketika Sekar tiba dan mencari ruangannya Wahyu. Baju Sekar yang basah kuyup, membuat pengunjung rumah sakit marah. Mereka pikir Sekar orang gila yang hujan-hujan kemudian berteduh di rumah sakit. Kemarahan mereka teredam ketika seorang satpam mencoba menenangkan mereka yang tidak bisa mengontrol emosinya.
            Satpam itu mengantarkan Sekar ke ruangan Wahyu, dan Sekar pun bertemu dengan dokter yang kebetulan keluar dari ruangan itu.
            “Bagaimana kondisinya, Dok?”
            “Mohon maaf. Nyawanya tak bisa tertolong lagi.”
            “Apa, Dok?!”
            “Ia meninggal. Saya turut berbela sungkawa yang sebesar-besarnya.”
            Sekar tidak percaya dengan pernyataan dokter. Pintu ruangan Wahyu dirawat, ia dobrak begitu saja. Ia melihat selembar kain putih menutupi tubuh seseorang, ternyata benar itu tubuh Wahyu yang telah tewas pasca kecelakaan itu. Tubuh Sekar yang tadinya basah kuyup, semakin basah karena air matanya tidak bisa terbendung lagi. Melihat kekasihnya yang selama ini ia sayangi terlentang tidak berdaya di kasur ruangan itu.
            Sekar membuka kain putih di wajah Wahyu.
            “Sayang, aku mohon kau bangun. Kau tak lihat apa yang aku bawa sekarang? Ini kenangan kita yang dulu. Kenangan saat awal kita bertemu.”
            Tidak ada yang bisa diucapkan Sekar lagi. Ia hanya menunjukkan kado sepasang sandal tanpa kertas pembungkusnya. Kertas itu basah, kemudian rapuh dimakan air hujan selepas perjuangannya menuju rumah sakit.
            Kini hanya sepasang sandal di tangan Sekar yang menjadi saksi kenangan terakhirnya bersama Wahyu. Dan tidak mungkin bisa terulang kembali hingga Sekar menjemput Wahyu ke alam perdamaian. [ ]

Surabaya, 19 Nopember 2016



Biodata:
RYAN P. PUTRA. Mahasiswa S1 Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember.